Ketika Waisak Jadi Obyek Wisata

tulisan yang mendalam.

kemarin saya juga sempat diajak ikut ‘nonton lampion’ tapi saya menolak. prinsip saya sih: itu perayaan agama budha, dan dalam keyakinan saya tidak diperkenankan mengikuti upacara keagamaan agama lain. (tentu alasan ini tidak saya sampaikan pada mereka)

ini peribadatan, bukan event hura-hura, sudah semestinya khusuk dan hening, bukan dengan riuh penonton atau kilatan cahaya kamera. sebagai penganut agama yang lebih mayoritas, seharusnya bisa menyayomi, memberi ketenangan dan kenyamanan dalam peribadatan mereka.

semoga semakin banyak yang mengerti dan tau implementasi ‘toleransi’ beragama.

Othervisions

Lagi, prosesi tahunan tri suci Waisak 2557/2013 digelar di Candi Mendut Borobudur 24-25 Mei. Itu berarti bahwa wilayah di sekitar Mendut-Borobudur bakal dipenuhi orang. Tak hanya umat Buddhis, tapi juga para maniak fotografer yang mengalir mirip bah, wisatawan lokal maupun luar, serta masyarakat lokal.

_MG_4821_1_1

Di negara yang penganut Buddha-nya banyak misalnya, Waisak diperingati dengan sakral, penuh hormat, dan hening. Hal semacam ini sulit ditemui pada peringatan Waisak di Mendut-Borobudur. Waisak di sini lebih mirip atraksi wisata, hiburan buat masyarakat awam. Ada pasar malam yang digelar di sepanjang bagian luar Candi Borobudur hingga Mendut yang dipenuhi ribuan orang. Ada dengking, pekik kebisingan dari suara motor, orang berbincang, yang kerap mengganggu jalannya pujabakti yang digelar di pelataran Candi Mendut di malam hari. Sepintas, sungguh mirip sekaten Jogja. Bukan ritual agama.

Di negeri ini, perayaan agama minoritas kerap dipandang sebelah mata. Bukannya dihormati pelaksanaannya, malah dijadikan atraksi wisata. Para penikmat ritual, entah wisatawan…

View original post 955 more words